Selasa, 16 Desember 2014

LAYLA TIDAK MAJNUN

Sebuah kisah Awal perkenalanku dengan Fikar

Part 2





“Hei…Mana mungkin tampang preman seperti kamu itu santri! Iya..kamu!” Ujar Nadia lantang, dengan gayanya yang sok sombong dan mungkin angkuh.

Laki-laki yang disebutnya sebagai preman itu hanya tersenyum, senyuman termanis sedunia.

“Tuh..kamu dengerin Nadia, dia saja sebut aku preman!” Ucap Fikar pada Zulfi yang duduk di sisinya.

“Nad, kamu jangan ngejek Masku, dia itu santri asli tau!” Ujar Zulfi membela—aku tak begitu akrab dengan Zulfi, yang aku tau Zulfi sangat dekat dengan Fikar, laki-laki yang selalu aku sebut tampang preman.

Laki-laki itu.

Dia manis, hidungnya mancung, giginya kecil-kecil mirip biji timun, tubuhnya kurus, warna kulitnya kuning langsat, dengan rambut yang khas pada jamannya “belah tengah”, kaos berkerah, celana jeans kumal.

Mungkin alasan aku mengatakan ia mirip preman, hanya karena celana jeansnya yang kumal. Selain itu aku tak mendapati apapun kecuali gaya logat bicaranya yang memang terkadang keras dan kasar, apalagi kalau sudah bergabung dengan etnis Madura, laki-laki itu amat fasih berbahasa Madura.
Aku ingat betul, bagaimana saat itu ia mencoba mengirim sms untukku, tahun itu belum ada BBM apalagi Line, We Chat, Whatsapp dan segala media sosial yang merambat drastis seperti saat ini. Sms perdana yang sok akrab, mengajak registrasi di Koperasi Mahasiswa bersama, saat aku bertanya dia siapa, ia hanya menjawabnya dengan satu kata:

Fikar

Lantas, aku mencoba mengingat-ingat kembali siapa laki-laki yang bernama Fikar, namun aku rasa—aku belum pernah berkenalan dengan laki-laki bernama itu. Lantas tanpa basa-basi, aku bertanya,

Fikar yang mana?
Entah karena kesal atau menyerah mengingatkan, ia membalasnya dengan berjanjian di Koperasi Mahasiswa esok hari.

Di esok hari itulah—menjadi tonggak sejarah hubungan antara dua manusia, memang kami belum berkomitmen apapun saat itu, tapi kami menikmati setiap proses yang ada, menjadi teman, sahabat, lantas jatuh cinta.

Koperasi Mahasiswa mempertemukan kami dengan segala aktifitas, dengan segudang kegiatan yang membuat jarak dan hubungan kami semakin dekat. Diakui atau tidak, lima sampai enam bulan berteman dengannya membuatku merasa nyaman ketika berada di sisinya. Dia teman terbaik yang pernah singgah dalam sejarah hidupku. Beserta teman perempuanku yang imut dan bawel khas dengan tingkahnya yang culun—Dikta namanya.

Kami bertiga menjalani setiap roda yang ada dalam organisasi Koperasi Mahasiswa bertiga, yang selalu kusebut sebagai “trio kwek-kwek”. Tiga sahabat baik, satu visi, satu misi dan sama gilanya. Meskipun rasanya diantara kami bertiga, aku lebih waras dibandingkan Fikar dan Dikta.
Pertemanan kami akan tetap menjadi pertemanan yang terbaik sepanjang hidupku, hingga akhirnya rutinitas kami di Koperasi Mahasiswa mulai tidak lagi menjadi nomor wahid, karena Dikta lebih sering mengunjungi pacarnya dibandingkan datang ke Kopma, urusan itulah yang akhirnya semakin memberikan peluang padaku dan Fikar semakin dekat, hanya antara aku dan Fikar—yah! Kami berdua, mau dikatakan atau tidak, aku sudah yakin bahwa sejak itu pula rasaku tumbuh dan tersemai indah dihatinya.

Sayangnya perasaan itu lama tak menemukan jawaban pasti, aku tak mau terlalu menunggu sebuah kepastian yang bahkan masih tak memiliki kejelasan, hingga akhirnya aku memutuskan memilih laki-laki lainnya untuk berpacaran, namanya Igun—Laki-laki humoris yang selalu mampu membuatku tertawa dan senang, ia adalah anak band, kepiawaiannya dalam bermain gitar mampu mempesonaku, namun ternyata tetap tak mampu memungkiri, bahwa aku merasakan sebuah kenyamanan saat bersama Fikar dibandingkan bersama Igun.

Akhirnya, disaat hubunganku dan Igun memasuki satu bulan, Fikar mulai semakin mendekatiku, memberikan jawaban-jawaban yang bahkan telah lama kutunggu. Meski ia tak memberikan jawabannya secara langsung, tapi aku selalu ingat dan benar-benar mengingat kerja kerasnya untuk membuat satu klip movie maker yang didalamnya berisi isi hatinya—namun gagal ditonton, akibat ada kesalahan saving project.

“Hah…kenapa gak bisa dibuka?” Ujarnya panic. Akupun membuatkan sampel movie maker padanya, yang akhirnya ia ulang lagi untuk di susun.
Akhirnya malam itu—kami benar-benar batal untuk “JADIAN”

Sepenggal kisah yang amat menyenangkan saat dibaca, namun entahlah bagaimana perasaanku saat mencoba kembali mengenang satu persatu kisah Takdir yang memepertemukan dengan laki-laki terbaik sepanjang perjalanan hidupku.

_BERSAMBUNG_





Tidak ada komentar:

Posting Komentar