Sebuah kisah Awal perkenalanku dengan Fikar
Part 2
“Hei…Mana mungkin tampang preman
seperti kamu itu santri! Iya..kamu!” Ujar Nadia lantang, dengan gayanya yang sok
sombong dan mungkin angkuh.
Laki-laki yang disebutnya sebagai
preman itu hanya tersenyum, senyuman termanis sedunia.
“Tuh..kamu dengerin Nadia, dia saja
sebut aku preman!” Ucap Fikar pada Zulfi yang duduk di sisinya.
“Nad, kamu jangan ngejek Masku, dia
itu santri asli tau!” Ujar Zulfi membela—aku tak begitu akrab dengan Zulfi,
yang aku tau Zulfi sangat dekat dengan Fikar, laki-laki yang selalu aku sebut
tampang preman.
Laki-laki itu.
Dia manis, hidungnya mancung, giginya
kecil-kecil mirip biji timun, tubuhnya kurus, warna kulitnya kuning langsat,
dengan rambut yang khas pada jamannya “belah tengah”, kaos berkerah, celana
jeans kumal.
Mungkin alasan aku mengatakan ia
mirip preman, hanya karena celana jeansnya yang kumal. Selain itu aku tak
mendapati apapun kecuali gaya logat bicaranya yang memang terkadang keras dan
kasar, apalagi kalau sudah bergabung dengan etnis Madura, laki-laki itu amat
fasih berbahasa Madura.
Aku ingat betul, bagaimana saat itu
ia mencoba mengirim sms untukku, tahun itu belum ada BBM apalagi Line, We Chat,
Whatsapp dan segala media sosial yang merambat drastis seperti saat ini. Sms
perdana yang sok akrab, mengajak registrasi di Koperasi Mahasiswa bersama, saat
aku bertanya dia siapa, ia hanya menjawabnya dengan satu kata:
Fikar
Lantas, aku mencoba mengingat-ingat
kembali siapa laki-laki yang bernama Fikar, namun aku rasa—aku belum pernah
berkenalan dengan laki-laki bernama itu. Lantas tanpa basa-basi, aku bertanya,
Fikar yang
mana?
Entah karena kesal atau menyerah
mengingatkan, ia membalasnya dengan berjanjian di Koperasi Mahasiswa esok hari.
Di esok hari itulah—menjadi tonggak
sejarah hubungan antara dua manusia, memang kami belum berkomitmen apapun saat
itu, tapi kami menikmati setiap proses yang ada, menjadi teman, sahabat, lantas
jatuh cinta.
Koperasi Mahasiswa mempertemukan kami
dengan segala aktifitas, dengan segudang kegiatan yang membuat jarak dan
hubungan kami semakin dekat. Diakui atau tidak, lima sampai enam bulan berteman
dengannya membuatku merasa nyaman ketika berada di sisinya. Dia teman terbaik
yang pernah singgah dalam sejarah hidupku. Beserta teman perempuanku yang imut
dan bawel khas dengan tingkahnya yang culun—Dikta namanya.
Kami bertiga menjalani setiap roda
yang ada dalam organisasi Koperasi Mahasiswa bertiga, yang selalu kusebut
sebagai “trio kwek-kwek”. Tiga sahabat baik, satu visi, satu misi dan sama
gilanya. Meskipun rasanya diantara kami bertiga, aku lebih waras dibandingkan
Fikar dan Dikta.
Pertemanan kami akan tetap menjadi
pertemanan yang terbaik sepanjang hidupku, hingga akhirnya rutinitas kami di
Koperasi Mahasiswa mulai tidak lagi menjadi nomor wahid, karena Dikta lebih sering
mengunjungi pacarnya dibandingkan datang ke Kopma, urusan itulah yang akhirnya
semakin memberikan peluang padaku dan Fikar semakin dekat, hanya antara aku dan
Fikar—yah! Kami berdua, mau dikatakan atau tidak, aku sudah yakin bahwa sejak
itu pula rasaku tumbuh dan tersemai indah dihatinya.
Sayangnya perasaan itu lama tak
menemukan jawaban pasti, aku tak mau terlalu menunggu sebuah kepastian yang
bahkan masih tak memiliki kejelasan, hingga akhirnya aku memutuskan memilih
laki-laki lainnya untuk berpacaran, namanya Igun—Laki-laki humoris yang selalu
mampu membuatku tertawa dan senang, ia adalah anak band, kepiawaiannya dalam
bermain gitar mampu mempesonaku, namun ternyata tetap tak mampu memungkiri,
bahwa aku merasakan sebuah kenyamanan saat bersama Fikar dibandingkan bersama Igun.
Akhirnya, disaat hubunganku dan Igun
memasuki satu bulan, Fikar mulai semakin mendekatiku, memberikan
jawaban-jawaban yang bahkan telah lama kutunggu. Meski ia tak memberikan
jawabannya secara langsung, tapi aku selalu ingat dan benar-benar mengingat
kerja kerasnya untuk membuat satu klip movie maker yang didalamnya berisi isi
hatinya—namun gagal ditonton, akibat ada kesalahan saving project.
“Hah…kenapa gak bisa dibuka?” Ujarnya
panic. Akupun membuatkan sampel movie maker padanya, yang akhirnya ia ulang
lagi untuk di susun.
Akhirnya malam itu—kami benar-benar
batal untuk “JADIAN”
Sepenggal kisah yang amat menyenangkan saat dibaca, namun entahlah bagaimana perasaanku saat mencoba kembali mengenang satu persatu kisah Takdir yang memepertemukan dengan laki-laki terbaik sepanjang perjalanan hidupku.
_BERSAMBUNG_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar